Senja selalu punya cara merapikan kekacauan hari. Lampu-lampu jalan mulai berkedip malu, udara menguning tipis seolah filter Instagram yang kebetulan hidup, dan saya? Saya berdiri di sudut trotoar sambil menatap sepatuku yang sudah mengilap—sepatu vintage yang saya dapat dari pasar loak dua musim lalu. Ada sesuatu tentang senja dan sepatu yang membuat saya merasa sedang menulis ulang bab lama dengan tinta baru.
Mengapa sepatu bisa jadi cerita?
Kalau dipikir-pikir, sepatu itu vokal. Mereka berjalan, tergores, mengangkat debu, bahkan kadang menangkap tumpahan kopi yang entah bagaimana selalu saja mengenai satu sisi. Sepatu vintage yang saya kenakan punya bekas jahitan di lidahnya, sedikit memudar pada sisi luar, dan sol yang dulu mungkin dibuat untuk tarian. Orang bilang barang bekas itu berjiwa—mungkin benar. Setiap lekukan di kulitnya seperti garis tangan yang menceritakan perjalanan: konser kecil, perjalanan ke kampung, kafe yang saya suka karena ada sofa oranye dan pemiliknya selalu lupa menghidupkan AC.
Baru-baru ini, seorang ibu-ibu yang lewat menoleh dan tersenyum pada sepatu saya. Ia mengangkat alis, lalu bilang, “Bagus, itu dari zaman saya.” Saya tersipu seperti anak yang ketahuan mencontek PR. Reaksi kecil itu membuat sepatu terasa lebih hidup lagi; mereka bukan sekadar pelindung kaki, tapi pemantik obrolan dan koneksi singkat antar orang asing. Senja kemudian menjadi saksi bisu, dan saya merasa gaya itu bukan cuma soal estetik, tapi soal percakapan yang tak terduga.
Bagaimana jalanan mengajar gaya?
Jalanan di waktu senja punya kurikulumnya sendiri. Ia mengajarkan cara memilih warna yang tidak menjerit, bagaimana berbaur dengan lampu jalan, dan kapan harus memilih kenyamanan daripada kepuasan visual semata. Saya sering mengamati orang lewat: ada yang memakai jaket denim lusuh, ada yang sepatu kets berkilau baru, ada pula yang menancapkan selendang vintage—setiap orang mempraktikkan kelas gaya yang berbeda.
Pelajaran paling berharga adalah: gaya yang paling menarik biasanya sederhana dan punya alasan. Tidak perlu semua serba sesuai tren. Kadang satu aksen—seperti sepatu tua yang dipoles rapi—cukup untuk membuat penampilan terasa bermakna. Saya menulis ini sambil tersenyum sendiri karena teringat momen ketika hampir membeli sepatu baru hanya karena tag diskon; akhirnya saya memilih merawat sepatu lama dan memakainya dengan kaos polos—hasilnya, pujian datang dari barista yang kebetulan menyukai warna mustard. Itu lucu, dan membuat saya sadar bahwa gaya juga soal pilihan kecil yang penuh cerita.
Di antara langkah-langkah itu, saya pernah menemukan sebuah blog yang menulis tentang pasar loak dan cara merawat sepatu vintage, sumber inspirasinya sederhana tapi sangat membantu: evalerina. Di situ saya belajar bahwa sentuhan personal pada pakaian adalah investasi kecil yang terasa besar setiap kali dipakai.
Apakah “vintage” selalu soal harga?
Banyak yang mengira vintage identik dengan mahal atau retro sok tua. Padahal, nilai vintage lebih sering ada pada keunikan dan cerita. Saya punya sneakers yang saya tukar dengan dua potong t-shirt di pasar malam—transaksinya lucu, penjualnya ketawa saat melihat saya menawar. Nilainya bukan hanya pada label harganya, tetapi pada cara benda itu membuat saya merasa berbeda di tengah kerumunan.
Vintage mengajarkan kesabaran juga. Merawat sepatu tua berarti mengakui bahwa sesuatu yang indah bisa memerlukan usaha. Menyapu, menyikat, menambahkan semir, dan kadang mengganti tali—proses itu seperti merawat hubungan; butuh waktu dan perhatian agar tetap kuat. Mungkin terdengar dramatis, tapi saya pernah merasa sedikit bangga saat sepatu itu bertahan melewati musim hujan dan tetap setia mengiringi langkah saya saat menonton matahari tenggelam.
Pelajaran gaya yang kubawa pulang
Senja mengajarkan saya bahwa gaya bukan kompetisi, melainkan dialog personal antara siapa kita dan apa yang kita pilih pakai. Dari sepatu vintage saya belajar tentang kenangan, percakapan singkat, dan nilai sebuah pilihan kecil. Jalanan mengajarkan improvisasi; jangan takut mencampur textur, jangan takut memakai satu barang yang “tidak cocok” menurut buku tren—seringkali keunikan itulah yang memberi hidup pada penampilan.
Jadi, kalau Anda kebetulan lewat trotoar sore ini, perhatikan detail kecil: lampu yang menguning, bunyi klakson jauh, aroma gorengan yang menggoda, dan mungkin sepatu yang sedang Anda rapi-rapkan. Biarkan senja menjadi latar, dan sepatu lama menjadi tokoh utama. Percayalah, gaya yang paling menarik seringkali lahir dari kelucuan kecil dan cerita yang bisa diceritakan sambil tersenyum.